Lorem Ipsum

Air, Antara Krisis dan Upaya Pelestariannya

05-04-2021

Lorem Ipsum

Kelangkaan ketersediaan air adalah salah satu ancaman yang membayangi sebagian wilayah Indonesia. Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara adalah tiga wilayah dengan kelangkaan air tertinggi saat ini. Wilayah dengan kelangkaan air diperkirakan akan semakin meluas proporsinya dari 6.0% di tahun 2000 menjadi 9.6% di tahun 2045. Selain itu, kualitas air juga semakin terdegradasi secara signifikan (LIPI, 2019). 

Terkait dengan problematika air yang semakin kompleks, National Geographic Indonesia dan #SayaPilihBumi, bekerjasama dengan Coca‑Cola Foundation Indonesia menyelenggarakan webinar dalam program #BerbagiCerita dengan tajuk “Upaya Memuliakan dan Melestarikan Air”.

Webinar yang dilaksanakan pada Jumat (11/12/20) melalui platform Zoom ini mendiskusikan secara lebih jauh mengenai permasalahan air beserta tawaran solusinya. Dengan dimoderatori oleh Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, diskusi ini juga turut mengundang empat narasumber yang sangat mumpuni untuk berbicara mengenai sumber daya air.

Mereka adalah (1) Prof. Ir. Muhammad Syahril Badri Kusuma, Ph. D yang merupakan Guru Besar Teknik Sumber Daya Air Institut Teknologi Bandung (ITB); (2) Dr. Sci Rahmat Fajar L, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bidang Hidrogeologi; (3) Ir. Asep Atju Surahmat M, Senior Raw Water Specialist USAID IUWASH Plus Project; dan (4) Triyono Prijosoesilo yang merupakan Wakil Ketua Pelaksana Coca‑Cola Foundation Indonesia.

Krisis Pemanfaatan Air

Permasalahan mengenai krisis air diidentifikasi secara beragam oleh para narasumber. Prof. Badri dari ITB, misalnya, menyoroti soal permasalahan kapasitas sungai sebagai salah satu sumber air yang paling banyak dimanfaatkan. Pola konsumsi manusia yang tidak terkendali telah mengundang lahirnya konflik kepentingan dan ketidakseimbangaan antara pengelolaan banjir dan kebutuhan manusia terutama di kota besar, terlepas dari berbagai regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah maupun organisasi dunia mengenai pelestarian air. Menurutnya pemanfaatan sungai harus seimbang, antara kebutuhan manusia, maupun tanaman dan hewan. Pemanfaatan sungai yang tidak sesuai kapasitas akan mengundang bencana banjir yang merugikan.

Serupa dengan yang disampaikan oleh Prof. Badri, Dr. Fajar dari LIPI juga menggarisbawahi timbulnya bencana akibat pemanfaatan air yang tidak terkendali. Dalam pembahasannya, Dr. Fajar secara khusus menyoroti air tanah, sebagai salah satu sumber air yang paling banyak dieksploitasi. Ekstraksi air tanah proporsinya mencapai 46% dari pemenuhan kebutuhan air. Dalam pemaparannya Dr. Fajar menyebutkan bahwa pemanfaatan air tanah yang tidak terkendali dapat berpotensi menimbulkan bencana (irreversible degradation) antara lain pencemaran air tanah, intrusi air laut, tanah yang amblas (land subsidence) dan dampak lainnya.

Krisis air juga dipaparkan oleh Bapak Asep dari USAID yang lebih menekankan soal peranan perubahan iklim dan konversi lahan. Perubahan iklim akan membuat musim kemarau menjadi lebih panjang dan konversi lahan secara langsung telah mengurangi daerah resapan air (catchment area). Kedua hal tersebut menyebabkan degradasi debit air dan penurunan kualitas sumber daya air, yang pada gilirannya akan berujung pada krisis air.

Melestarikan Sumber Air

Sebagai kebutuhan dasar manusia, krisis air harus diatasi segera. Restorasi sungai menjadi salah satu tawaran solusi dalam pelestarian sumber air yang diusulkan oleh Prof. Badri dalam diskusi. Program restorasi yang bersifat do-able, dan secara realistis dapat mengukur kapasitas sungai secara tepat sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. Prof. Badri menekankan pentingnya kerjasama semua pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat sekitar, lembaga swadaya masyarakat, swasta, serta akademisi) dalam merestorasi sungai.

Senada dengan Prof. Badri, Dr. Fajar juga menekankan pentingnya pelibatan masyarakat dalam edukasi pengelolaan air. Teknologi yang tepat guna harus dibarengi dengan edukasi kepada masyarakat sebagai ujung tombak pemanfaatan air agar lebih berkelanjutan.

Salah satu tawaran solusi yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat adalah pembangunan sumur resapan yang telah sekian lama dikampanyekan oleh USAID melalui program IUWASH plus project. Bapak Asep menyampaikan dalam diskusi bahwa sumur resapan adalah teknologi yang mudah dan murah, namun cukup efektif dan efisien dalam mengatasi krisis air. Program sumur resapan yang berhasil meningkatkan debit air sebesar 30% dalam kurun waktu 1-2 tahun. Program sumur resapan yang dilaksanakan oleh USAID IUWASH Plus Project ini telah mendapat dukungan dari Coca‑Cola yang memiliki komitmen tinggi dalam pelestarian air.

Selain membangun sumur resapan bersama USAID, Coca‑Cola juga telah banyak melakukan banyak hal lain dalam upayanya melestarikan air. Dalam pemaparan yang disampaikan oleh Bapak Triyono sebagai perwakilan Coca‑Cola Foundation, diketahui bahwa Coca‑Cola memiliki visi yang kuat mengenai pemuliaan dan pelestarian air. Visi itu yang dilaksanakan dalam bingkai water replenishment project melalui empat pilar kerangka.

Pertama, plant performance dimana setiap pabrik akan diukur KPI water-used ratio yang merupakan metode untuk mengukur penggunaan air. Semakin rendah penggunaan air untuk memproduksi 1 liter air maka akan semakin bagus. Kedua, watershed Protection, dimana penting untuk menjaga siklus hidrologi dengan cara merawat sumber air tanah. Ketiga, Sustainable Communities, dimana akses air bersih ke masyarakat adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan air. Keempat, Global Awareness and Action, untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap penggunaan air.

Pelaksanaan water replenishment project dilaksanakan melalui 3 tipe proyek aktivitas yaitu pertama pembangunan sumur resapan di 7 lokasi di Jawa Sumatera. Kedua, pembangunan embung di 7 lokasi di Jawa dan NTB. Ketiga, peningkatan akses air dan sanitasi dengan bekerjasama dengan PDAM melalui kegiatan pipanisasi.

Sejak 2014, program pemuliaan dan pelestarian air yang dilaksanakan Coca‑Cola telah mencapai lebih dari 100% air dikembalikan ke alam atau masyarakat. Tahun 2019 bahkan sudah mencapai 141%. Upaya Coca‑Cola telah menunjukkan bahwa komitmen yang tinggi dari pihak swasta akan berkontribusi langsung dalam turut  serta mengatasi krisis air di Indonesia.